Selasa, 18 November 2008

Wisata Perpustakaan Universitas (1)


”Sejarah”

Variabel yang digunakan untuk skripsi saya memang cukup langka. Jarang yang membahas. Sejauh ini saya hanya menemukannya di satu jurnal yang ada di kantor jurusan. Tapi sayangnya fotokopian jurnal itu hilang. Dan celakanya lagi jurnal yang ada di kantor jurusanpun hilang. Maklum, kita baru ”pindah rumah” jadi memang agak ”riweuh”.

Sayapun panik. Karena sumber yang berbahasa indonesia sangat jarang. Hampir tidak ada yang berbahasa indonesia, semuanya berbahasa Inggris. Lalu sayapun menanyakan ke staff TU disana. Kebetulan (atau memang Allah sengaja mengatur), ada dosen pembimbing pertama saya disana. Setelah saya menanyakan ke bagian staff TU tentang keberadaan jurnal saya itu, ternyata jawaban ”Tidak ada” yang saya dapat. Entah dorongan darimana, sayapun melontarkan kata-kata,”wah, padahal itu satu-satunya jurnal berbahasa indonesia yang ngebahas tentang ”X”. Dan dosen pembimbing saya pun berkata,”memang kamu sudah cari ke seluruh perpustakaan diseluruh Indonesia?”. Glek!!!. ”belum pak,” jawab saya. ”ya sudah. Jangan pernah ngomong kaya gitu!!!”, kata dosen saya. Dan sayapun terdiam. Maka sejak saat itu wisata perpustakaan universitaspun dimulai....

Kisah Skripsiku (3)


”Saya kan bukan lagi bikin Al-Qur’an”

Bimbingan pertama dengan pembimbing 1 pun dimulai hari ini. Sayapun sudah duduk manis dikantornya untuk bimbingan. Awalnya beliau bercerita tentang kondisi kantor jurusan. Terutama tentang insiden sajadah di samping kain lap. Beliau tidak habis pikir kenapa ada orang di lingkungan akademisi itu yang menaruh sajadah disamping kain lap. “bukankah itu sangat tidak pantas mba?”, katanya.

Sayapun hanya tersenyum. Sambil menunggu karena sudah setengah jam beliau bercerita tentang insiden sajadah dan kain lap tersebut. Tapi draft saya belum juga ditaruh di atas mejanya. Setelah itu, beliau baru membuka-buka tasnya. Saya tak tau persis apa yang beliau cari. Sepertinya mencari draft saya. Tapi proses pencarian itu dibarengi tentang kisah beliau saat melakukan pindahan kantor jurusan dari gedung lama ke gedung baru. Maklum, UPI baru melakukan pembangunan jadi beberapa waktu lalu kita memang baru pindah ke “rumah baru”. Cerita itupun berlangsung salama setengah jam.

Draft akhirnya ketemu. Beriringan dengan adanya beberapa kaka tingkat yang ingin meminta tanda tangan untuk keperluan sidang pertengahan bulan ini.

“gimana mba, ada masalah dengan penyusunan skripsinya selama ini?”, kata beliau kepada kaka-kaka tingkat saya itu. Dan tentu saja jawabannya sangat panjang. Cerita membuat skripsi sama saya saja dengan cerita sinetron tersanjung. Kalau kata salah satu iklan,”ga cukup satu”.

Namun karena saya adik yang baik dan mahasiswa yang baik terhadpa dosen pembimbingnya, maka saya pun ikut mendengarkan cerita-cerita itu. Dan dosen pembimbing sayapun ikut bercerita. Beliau bilang membuat skripsi itu memang salah satu bagian ujian dari kehidupan. Banyak konflik yang menuntut kesabaran di dalamnya. Beliau bercerita kalau beliau hampir pisah dengan istrinya saat sedang menyusun tesis. Dosen” X”, salah satu dosen kami, malah pisah beneran sama suaminya (emang ada pisah boongan?). Dosen ”Y”, memberikan golok ke dosen pembimbingnya karena frustasi proposalnya ditolak-tolak sambil mengatakan,”ibu, saya tidak kuat kalau terus-terus kaya gini. Lebih baik ibu bunuh saja saya dengan golok ini”. Beliau juga bilang kalau beliau juga mengalami penolakan dan penolakan proposal. Sampai batas waktu terakhir, beliau bilang,”bu, saya kan bukan sedang bikin Al-Qur’an. Jadi salah sedikit tak apalah...”

Hm... kata-kata yang cukup bagus. Bisa dipraktekan ga ya dibimbingan selanjutnya??? hehe...

Kisah Skripsiku (2)


”Bimbingan Saat Tipes”

Setelah kemarin gagal bimbingan, hari ini saya datang lagi dengan tujuan yang sama : BIMBINGAN SKRIPSI. Tapi kali ini saya sudah divonis mengidap penyakit tipes. Entah karena tubuh saya yang memang sedang lemah, atau memang karena sugesti dokter yang bilang saya terkena tipes, atau mungkin ketakutan berlebihan menjelang bimbingan, yang pasti saat itu saya sangat merasa tidak enak badan. Perut mual, badan panas, pandangan kabur, kepala nyut-nyutan, mata berkunang-kunang. Pokoknya semua indikator orang yang sedang sakit terpenuhi. Tapi sekali lagi, saya tetap bertekad untuk bimbingan.

Setelah berjuang melewati tangga, saya akhirnya memutuskan untuk beritirahat dulu sebentar. Jadi saya duduk lesehan di tangga samping kantor dosen. Selang 5 menit, ternyata dosen pembimbing saya lewat dan berjalan ke kantornya. Kami hanya bertukar senyum. Syukurlah, setidaknya si mba inget ada bimbingan sama saya. Setelah saya sudah merasa cukup kuat, saya masuk ke dalam ruangannya. Beliau sedang membuka draft bab I punya saya. Banyak coretan disana. Saya panik. Badan sayapun bertambah panas. Draft dibuka kembali. Semakin banyak coretan tak beraturan. Kali ini kepala saya pening. Nyut-nyutan. Dibalik halaman selanjutnya lagi, ternyata coretan masih ada. Dan pemandangan sayapun menjadi kabur. Mata terasa berkunang-kunang. Tiba-tiba handphone pembimbing saya berbunyi.

”halo... iya iya... ya udah saya kesana...,” katanya lalu mematikan handphone

“Erna, saya harus menjemput ibu saya di depan kampus. Ini draftnya sudah saya periksa. Kamu lihat dulu aja. Ngerti ga sama apa yang saya koreksi. Nanti saya balik lagi. Oke?,” katanya kepada saya.

”baiklah mba, tenang aja,”kata saya sambil senyum. Padahal hati saya panik dan jiwa saya tak tenang (cie...).

Setelah itu dosen pun pergi. Saya terkapar di sofa.

Huff... setidaknya saya punya waktu untuk menenangkan diri.

Saya mulai membuka lembar pertama dan mencoba untuk mengerti apa koreksi dari dosen pembimbing itu. Kening merengut. Kepala terasa nyut-nyut-nyut. Tapi saya mengerti koreksi pertama. Alhamdulillah. Begitupun dengan koreksi-koreksi selanjutnya. Dengan usaha yang keras akhirnya saya mengerti apa maksud dari koreksi itu.

Selang 20 menit dosen pembimbing saya masuk. Dan kita kembali berdiskusi.

”gimana, ngerti na?”

“iya mba, ngerti. Ini maksudnya gini kan...bla...bla...bla...”

“iya...tapi ini gini...gini...gini...”

Dan akhirnya dimulailah diskusi kami. Kadang apa yang saya katakan ga nyambung. Karena saya merasa sulit konsentrasi. Mungkin karena fisik saya yang kurang fit. Tapi setelah bimbingan sekitar 30 menit, akhirnya kami selesai. Dan selesailah sudah bimbingan pertama saya. Alhamdulillah...

Kisah Skripsiku (1)

Kisah Skripsiku (1)

”Bimbingan Pertamaku”

Hari itu hari minggu, saya masih dirumah dalam keadaan tubuh dengan suhu yang tinggi. Saat itu saya belum didiagnosis kena penyakit tipes. Hanya suhu badan saya saja yang sangat tidak stabil. Kadang-kadang suhunya sangat panas, tapi kadang-kadang juga menggigil kedinginan. Tapi saat itu saya tidak perdulikan. Yang saya perdulikan adalah saya harus dembuh karena saya ada janji bimbingan dengan pembimbing II jam 10. Dan itu adalah bimbingan pertama. Jadi menurut saya moment itu sangatlah sakral. Apalagi waktu saya tidak banyak untuk menyelesaikan skripsi ini. Jadi saya minta ijin ke keluarga untuk kembali ke Bandung. Dengan berat hati dan rasa penuh khawatir mereka mengijinkan. Dengan syarat harus selalu mengirimkan kabar tentang perkembangan kesehatan saya. Dan sayapun mengiyakannya.

Akhirnya tibalah saya di Bandung sore hari. Dengan segala daya upaya saya mencoba untuk tetap kuat agar besok bisa bimbingan dengan baik. Dan hari irupun tiba. Hari dimana saya harus bimbingan dengan pembimbing ke-2. jam menunjukan jam 9. tapi saya sudah berangkat ke kampus. Dengan langkah gontai dan suhu badan yang tinggi saya tetap berusaha berjuang untuk ke kempus. ”Demi skripsi,” batin saya.

Setelah berjuang untuk ke kanpus, tibalah saya di kantor dosen yang bersangkutan. Tapi penderitaan saya belum berakhir. Karena ruang dosen itu ada dilantai dua. Artinya saya masih harus melewati tangga yang cukup banyak untuk orang yang sedang sakit seperti saya. Sayapun mengambil nafas panjang. Dan berdoa agar saya bisa melewati anak-anak tangga tersebut. Anak tangga pertamapun berhasil saya leati. Tapi nafas saya menjadi tidak teratur. Jantung saya berdegup lebih cepat. Pandangan saya menjadi kabur. ”Tenang na. Ini Cuma perasaan aja,”batin saya menenangkan.anak tangga keduapun sudah saya lewati. Kali ini kepala saya menjadi pening. Syaraf-syaraf i kepala saya terasa berdenyut. Nafaspun kembali tidak teratur. ”Ayolah, ini Cuma perasaan aja”. Tangga selanjutnyapun dilewati. Semakin saya naik, kepala saya semakin pening. Pemandangan saya semakin kabur. Denyut jantung saya semakin cepat, nafas saya semakin teratur. Tapi saya tidak perdulikan itu semua. Yang ada di dalam pikiran saya saat itu cuma saya ingin bimbingan. Saya ingin bimbingan. Hampir saya putus asa. Tapi tetap berjalan dan mebulatkan tekad,”saya ingin bimbingan”. Dan ternyata sampailah saya pada anak tangga terakhir.

”Alhamdulillah,” kata saya sambil mengambil nafas panjang. Setelah itu saya bergegas ke kantor pembimbing II tersebut. Gontai, tapi tetap bersemangat. Dengan semangat itulah mata saya mencari-cari wajah dosen saya. Dengan semangat itulah saya menyapu ruangan dengan mata saya demi mendapatkan wajah dosen saya. Tapi saya tidak menemukannya.

Akhirnya sayapun memutuskan untuk menelpon dosen tersebut. Dengan harap-harap cemas saya mencari nama dosen saya di phonebook dan memencet tombol hijau untuk menelpon beliau. Lama saya telpon dan belum ada yang mengangkat. Sampai akhirnya...

”halo,”

Alhamdulillah

”halo mba, ini dengan erna”

”Oia, ada apa erna”

”mba, kita ada janji bimbingan sripsikan sekarang jam 10”

oh iya ya??? Maaf saya lupa. Besok aja ya kamu dateng lagi jam 11 ke kantor saya...”

“oh...eng..iya bu. Besok jam 11”

Dan pulanglah saya kembali ke kosan tanpa bimbingan... mencoba mengikhlaskan hati atas semua perjuangan saya untuk bimbingan walau pulang dengan tangan hampa...

Kisah tipesku (2)

Pantangan Dokter yang Selalu Dilanggar Ibu

Setelah saya pulang, saya memberitahukan ke ibu kalau saya sakit tipes. Saya juga memberitahu kalau saya tidak boleh makan apapun kecuali bubur. Tapi saya bilang ke ibu kalo saya bosan makan bubur. Besok saya mau makan sop tahu.

Akhirnya pagipun menjelang. Ibu mulai sibuk didapur. Dan ternyata beliau membuatkan sop tahu untuk saya. Akhirnya hari itu saya makan nasi dengan sop tahu. Dan tentu saja dengan lahap. Setelah itu saya juga bilang kalo besok saya ingin makan sop makaroni. Dan layaknya ibu peri, ibuku cayang ini langsung mengabulkannya. Keesokan harinya beliau membuatkan sop makaroni yang sangat lezat. Dan tentu saja saya makan dengan lahap. Walhasil sayapun kembali sehat meskipun selama dirumah, saya tidak pernah makan obat lagi dari dokter dan melanggar pantangan. Karena sebelumnya saya juga bilang ke ibu kalau saya bosen minum obat dokter. Beliaupun mengijinkan asalkan saya mau meminum ramuan ”leluhur” yang ternyata rebusan cacing yang dicampur dengan berbagai daun-daun sakti lainnya. Tapi apapun itu, toh akhirnya saya sembuh.

Uniknya ini bukan kali pertama ibu melanggar pantangan. Seingat saya waktu sd juga saya pernah sakit tipes dan harus seminggu istirahat. Tapi di hari ke-4 saya merasa bosan dan ingin bermain. Seperti tidak menghiraukan arahan dokter, ibupun mengijinkan saya bermain. Tentu saja sehabis itu saya makan dengan banyak dan akhirnya sembuh. Waktu itu juga saya pernah sakit flu berat, tapi saya kepingin sekali es krim. Secara rasionalnya mungkin keinginan tersebut tidak akan dipenuhi oleh seorang ibu. Tapi ajaibnya ibu memperbolehkan. Beliau bilang,”gapapa. Obat”. Dan itupun benar-benar menjadi obat. Ternyata sayapun sembuh dari flu itu. Satu hal lagi, seingat saya, keadaan saya tidak pernah menjadi lebih buruk setelah melanggar pantangan-pantangan dari dokter yang diperbolehkan oleh ibu. Entahlah. Mungkin itu semua karena do’a dari ibu.^^

Kisah tipesku (1)

Kisah tipesku (1)

Antara Bubur, Sop, dan Kasih Sayang Ibu



Pemeriksaan secara umum dan tes darah sudah dilakukan. Dan hasilnya pun sudah dalam genggaman tangan.

“Positif tipes. Mba ga boleh makan apapun kecuali bubur karena ususnya belum kuat. Mba juga jangan melakukan aktivits berat karena imunitasnya sedang sangat turun. Selain itu trombosit mba juga dibawah rata-rata. Jadi dua hari lagi mba harus kesini untuk cek darah lagi karena dikhawatirkan mba kena demam berdarah. Jangan lupa obatnya diminum sesuai aturan. Cepet sembuh ya…”

Kira-kira itulah wejangan dari pak dokter yang selalu diamini oleh orang yang sedang sakit. Layaknya sebuah hipnotis, para pasien yang datang ke dokter pasti melakukan apa yang diperintahkan orang berstetoskop itu. Termasuk saya. Maka sejak saat pulang dari dokter, dimulailahlah ritual makan bubur. Sarapan bubur, makan siang bubur, makan malam bubur. Semuanya serba bubur. Dan itu seharusnya berlangsung selama tujuh hari. Bayangkan saudara-saudara, TUJUH HARI!!!

Tapi pada hari ke-empat, entah mengapa saya ingin sop. Bukan sop yang biasa ada di warung-warung nasi biasanya, tapi saya kepingin sop bikinan ibu. Entah kenapa. Sejak detik itu yang terbayang hanya sop bikinan ibu. Kuah hangat yang nikmat beserta kaldunya, harmonisnya bumbu-bumbu yang berpadu, empuknya daging ayam yang ada didalamnya, sayuran yang tidak keras tapi juga tidak hilang vitamin didalamnya. Semuanya kelezatan itu berputar-putar di kepala saya.

Tak terasa adzan dzuhurpun berkumandang. Itu artinya saya harus makan siang dan minum obat (lagi). Dan artinya juga, saya harus kembali makan bubur. Ah... bosan rasanya makan bubur terus. Dan bayangan tentang sop bikinan ibupun kembali terbayang. Dan saya tak sanggup membendungnya lagi. ”Saya harus makan sop bikinan ibu!!!,” batin saya.

Akhirnya dengan segenap kemampuan saya, saya putuskan untuk pulang. Setelah berkemas-kemas dan nekat naik angkot ke stasiun, akhirnya melajulah saya dengan kereta parahyangan ke bekasi jam lima sore. Disepanjang jalan terbayang sudah kelezatan sop bikinan ibu.

”Tapi mana mungkin. Kemungkinan saya sampai jam delapan malam. Masa saya minta dibikinkan sop jam delapan malam? Huff... baiklah. Saya akan bersabar sampai esok hari. Nanti saat pulang saya bilang sama ibu kalau besok minta dibikinkan sop. Pasti ibu mau,”pikir saya.

Ternyata benar. Saya sampai jam delapan malam. Dan harus mengetuk pintu berkali-kali untuk bisa masuk ke dalam rumah karena penghuni rumah sedang khusyuk di depan tv menunggu kepastian eksekusi Amrozi cs. Maklum, saat itu berita tentang eksekusi Amrozi cs memang sedang hangat-hangatnya.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya dibukalah pintu rumah. Dan saya langsung masuk ke dalam untuk menemui ibu.

”Masak apa bu?”

”Masak Sop”

Mendengar jawaban itu saya langsung menangis. Betapa terharunya saya pada ikatan ibu dan anak yang kami punya. Ternyata hasrat saya untuk memakan sop bersambut dengan naluri ibu yang mengetahui hasrat anaknya itu, meskipun kami terhalang oleh jarak yang cukup jauh. Dan sayapun langsung makan dengan lahap. Ibu yang tidak tau apa-apa tentu saja merasa aneh. Tapi saya cuma bisa bilang,

”Terima kasih bu ^^”

Sabtu, 25 Oktober 2008

mudik sama ade


Tanggal 31 Agustus-3 September 2008 si cantik nan baik hati serta tidak sombong yang bernama Ernawati ini mudik ke Bekasi untuk melaksanakan sebuah tradisi yang bernama munggahan. Entah sejak kapan tradisi itu dimulai, yang pasti di daerah bernama jawa barat ini sering kali memangil putra-putri daerahnya yang berada diluar tanah tempat orangtuanya tinggal untuk pulang sebelum ramadhan. Alasannya sangat simple. Biar bisa buka puasa dan sahur pertama kali bareng keluarga. Manis. Sangat manis…

Tanggal 30 oktober saya beli “sesajen buat adek2”…sambil tertegun di angkot saya mengingat ocehan si kecil keriwil kemarin…

“mba erba, begini ya…ade sama mas tomo bawain kura-kura… terus mas tomi bawain strowberi. Jangan lupa bawain juga baju ade dari bude… oke???”

Spontan saya tertawa mengingat perkataan itu. Beberapa penumpangpun sempat menoleh karena khawatir melihat saya tertawa tanpa sebab. Sadar bahwa orang lain memandang saya dengan aneh, dengan cepat saya membetulkan posisi duduk dan beberapa kali melirik mereka sebagai permintaan maaf.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan kata-katanya. Tapi cukup lucu ketika saya sadar bahwa yang berkata itu adalah adik saya yang paling kecil, gadis berumur 6 tahun, berwajah putih dan berambut gimbal ala giring Nidji. Seorang anak kecil yang berlagak sok tua namun tetap lucu di masanya...

miss U